TINJAUAN MENGENAI BUDAYA
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan budaya ? Ada banyak ahli yang mendefinisikan budaya. Salah satunya adalah William Gudykunst dan Woord Goodenough, yang mendefinisikan budaya sebagai “system of knowledge” (sistem pengetahuan). Lebih lanjut Gudykunst mengatakan bahwa :
”but much of what is cultral consists of explanations and actions that are either taken for granted or unnoticeable; more over, it’s commonplace occurance for people to distinguish between knowing about something or how to do it, on the one hand, and understanding why something should be done or what its doing constitutes, on the other hand” (Banks, Stephen B, 2000)
Dari pernyataan tersebut nampak bahwa budaya terdiri atas penjelasan yang dapat diterima apa adanya (taken for granted) oleh masyarakat dan juga budaya digunakan untuk menilai hal mana yang pantas dilakukan , bagaimana mengerjakan, dan di sisi yang lain adalah pemahaman mengapa sesuatu harus dikerjakan.
Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1981: 17) menggambarkan budaya sebagai berikut :
Budaya mengatakan bahwa kebudayaan keseluruhan sistem tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan milik diri sendiri dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya amat sedikit tindakan manusia yang tak perlu dibiasakan dengan belajar.
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta : buddhayah : bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian :kebudayaan adalah “hal-hal yang bersangkutan dengan “budi” atau “akal”
Para ahli yang lain mendefinisikan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa manusia.
Talcott Parsons, serupa dengan JJ Honigman (dalam Koentjaraningrat 1981:186) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan” yaitu :
1. Wujud pertama adl wujud ideal dari kebudayaan : ide-ide dan gagasan manusia banyak yg hidup bersama dlm masyarakat : disebut dengan sistem budaya atau cultural system.
2. Wujud kedua : sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem ini terdiri dai aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul.
3. Wujud ketiga : kebudayaan fisik . Sifatnya paling konkret. Berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat.
Di dalam organisasi pun, ketiga wujud budaya tersebut tertanam dan hidup seiring dengan lahir dan tumbuhnya organisasi tersebut. Inilah yang disebut dengan budaya organisasi, dikatakan oleh Robbins bahwa:
Budaya adalah satu set nilai, penuntun kepercayaan akan suatu hal, pengertian dan cara berpikir yang dipertemukan oleh para anggota organisasi dan diterima oleh anggota baru seutuhnya (Robbins, SP, 1999).
Sedangkan definisi menurut Edgar Schein dalam Gibson Ivancevich dan Donnely (1999: 30) organizational culture adalah :
“A pattern of basic assumptions-invented, discovered or developed by a given group as it learns to cope with problems of external adaptations and internal integrations- that has worked well to be considered valid, and therefore, to be taught to new members as the correct ways to perceive, think and feel in relation to those problems.
Schein menyatakan bahwa budaya terdiri dari asumsi-asumsi, adaptasi, persepsi dan pembelajaran.
Menurut Richard E. Porter dan Larry A. Samovar (Schramm, Wibur, et.al , 1996 : hal 11 ) budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya.
Budaya membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana , budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama periode yang diterima selama periode kehidupan.
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa dan bagaiamana orang-orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Michael Gamble dan Tery Gamble (dalam Gambe and Gamble, 2005: 14) mengatakan bahwa komunikasi sangat dipengaruhi oleh budaya (communicationis affected by culture).
Digambarkan oleh Gamble and Gambe (2005: 14) :
”Culture diversity, including race, ethnicity, gender, and age influence the meanings we attribute to communication. Cultural differences exist not only between persons who speak different language but between persons who speak the language as well. Every culture group has its own rules or preferences for interactions. When these are ignored or unknown, we are likely to misinterpret the meaning of messages received and miscalculate the impact of messages sent”
Alfred G. Smith dalam (Jand, Fred E, 2004 : hal 29) mengatakan sebagai berikut :
” Culture is a code we learn and share, and learning and sharing require communication. Communication requires coding and symbols that must be learned and shared”
Budaya merupakan kode yang kita pelajari dan bagi (dengan orang lain), dan mempelajari serta berbagi dengan orang lain membutuhkan komunikasi. Komunikasi membutuhkan code dan simbol yang juga harus dipelajari dan kita bagi.
Godwin C. Chu juga dalam Jand (Jand, Fred E : 29) mengatakan bahwa setiap pola budaya dan setiap tindakan sosial melibatkan komunikasi. Untuk dapat dipahami budaya dan komunikasi harus dipelajari secara bersama-sama. Budaya tidak dapat dimengerti tanpa belajar tentang komunikasi dan komunikasi tidak dapat dipahami tanpa kita belajar budaya.
TINJAUAN MENGENAI INTERCULTURAL COMMUNICATION
Intercultural Communication didefinisikan oleh Gamble and Gamble (2005; 36)
sebagai berikut secara singkat
“interaction with individuals from different culture “
Selanjutnya Gamble and Gamble (2005 : hal 37) menjelaskan sebagai berikut :
In actually, intercultural communication comprises a number of different forms. Among its many variations are interracial communication (which occurs when interactants are of different races).
Interethnic communications (which occurs when communication parties have different ethnic origins), international communication (which occurs between persons representing political structures), and intracultural communication (which includes all forms of communication among members of the same racial, ethnic, or other co or subculture groups)
Intercultural communication saat ini menjadi tema yang cukup menarik untuk dibicarakan. Tery Kwal Gamble dan Michael Gamble dalam bukunya Communication Works (2005: 32) menggambarkan bahwa “ours is the age of globalization. We are linked to people in all corners of Planet Earth”. Abad ini merupakan abad globalisasi kita terhubung ke semua sudut bumi.
Organisasi menjadi kian terbuka. Informasi terbuka bagi siapa saja, dunia terasa sempit. Hal inilah yang kemudian menyadarkan orang akan arti pentingnya sebuah komunikasi dimana dimungkinkan orang dari budaya yang berbeda saling berkomunikasi.
Fred E Jand dalam bukunya An Introduction to Intercultural Communication menggambarkan intercultural communication berikut ini :
“Intercultural communication generally refers to face to face interactions among people of diverse cultures. Imagine how difficult communications can be if the source and receiver are in different context and share few symbols. That’s one way of defining intercultural communication” (Jand, Fred E 2004 : 39)
Lebih lanjut Jand menjelaskan bahwa definisi dari komunikasi intercultural tersebut membuat komunikasi yang dikembangkan (baik pada tingkat individu dan organisasi) akan lebih ditekankan pada keahlian (skill) dari monocultural person menjadi multicultural person. Multicultural persons adalah orang yang menghargai (who respects) budaya dan memiliki toleransi terhadap perbedaan (tolerance for differences).
Chen dalam Jand (2004: 45) mengatakan terdapat 4 keahlian yang dimiliki seorang multicultural persons:
1. Personality Strength: the main personal traits that affect intercultural communication are self concept, self disclosure, self monitoring and social relaxation.
2. Communication Skills : the individuals must be competent in verbal and non verbal behaviors. Intercultural communication skill require messages skills, behaviral flexibity, interaction management, and social skills.
3. Psychological Adjusment: effective communicators must be able to acclimate to new environment. They must be able to handle the feelings of “culture shock”, such as frustations, stress and alienation in ambiguous situations caudes by new environments
4. Cultural awarenerss: individuals must be understand the social customs and social systems of the host culture.
Meningkatnya keanekaragaman di tempat kerja menyadarkan orang akan arti penting multicultural person. Mengelola keanekaragaman menurut Schemerhorn, berarti mendorong setiap karyawan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan potensi mereka.
No comments:
Post a Comment