Sunday, November 06, 2011

Kepompong Kemiskinan di Lombok-NTB

Pernahkah kita membayangkan tinggal di daerah tepi pantai, yang berair payau, hidup dengan pengasilan yang rendah , tinggal di rumah yang dapat dikatakan tidak layak huni, di sinilah terletak kepompong-kepompong kemiskinan masyarakat di Pulau Lombok NTB. Sebagai sebuah pulau yang memiliki potensi pariwisata yang luar biasa (pantai -pantai yang dimiliki sangat indah), sebagian masyarakat Lombok NTB justru terperangkap dalam kepompong-kepompong kemiskinan di mana mereka sulit untuk keluar dari kepompong tersebut. 

Kebanyakan kemiskinan ditemui di daerah -daerah atau di desa tepi pantai. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai nelayan, dan pembuat batu bata yang berupah sangat minim. Di daerah tepi pantai Sekotong misalnya saya banyak menemukan rumah-rumah yang sangat tidak layak untuk dihuni, dan kualitas kehidupan masyarakat yang sangat rendah
(pendidikan yang rendah, air bersih yang tidak memadai, gizi buruk , status ekonomi yang rendah). Pantai Sekotong sendiri sangat terbengkalai, padahal pantai ini sangat jernih, indah.. dan pemandangan sunset yang sangat menawan , namun sayangnya lingkungan sekitar pantai tidak terawat sebagaimana mestinya, sampah pengunjung berserakan dimana-mana, mengusik keindahan alamiah yang dimiliki oleh pantai itu.

Menurut dr Bobby Marwal Syarizal, dosen FK UNRAM Mataram , sebanyak 65% KK di Lombok adalah KK miskin, dan kebanyakan hidup di daerah pantai yang berair payau. Angka yang luar biasa besar untuk sebuah angka kemiskinan. Menurut dr Bobby, belum banyak peningkatan kualitas kehidupan masyarakat yang ada di NTB yang terjadi selama dia bertugas di NTB selama 4 tahun. 

Dari data BPS, indeks pembangunan manusia di NTB (note: IPM merupakan suatu indeks komposit yang mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap sangat mendasar yaitu usia hidup (longetivity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living), propnsi NTB meduduki rangking kedua terendah sebelum Propinsi Papua yaitu 60.5 (longelivity) , 6.6 (Man years of schooling) da 5.2 (untuk
literacy), alhasil dengan kondisi ini NTB menyandang rangking 32 dari 33 propinsi yang ada di Indonesia (data tahun 2005)

Kemiskinan melahirkan persoalan-persoalan baru di NTB. Fenomena putus sekolah, trafficking,serta TKI dan TKW ilegal. Menurut dr Bobby Marwal, MPH tak jarang masyrakat tepi pantai menjual murah tanahnya , yang paling parah adalah ketika harga diri manusia sudah tidak ada artinya lagi, 
bahkan lebih rendah daripada seekor binatang, mereka bahkan rela anaknya "dijual" pada para (maaf) phedophilia hanya demi imbalan motor terbaru . Hasil penjualan tanah atau aset tidak digunakan untuk reinvestasi atau digunakan utk melakukan kegiatan perekonomian produktif namun lebih banyak digunakan untuk naik haji (bagi orang NTB terutama penduduk asli, dapat menyandang predikat haji 
adalah status sosial yang tertinggi sekalipun uang yang dipakai utk berhaji adalah hasil penjualan aset satu-satunya yg mereka miliki tau digunakan untuk kegiatan ekonomi konsumtif yang membuat mereka jatuh 
terperangkap kembali dalam kemiskinan
Melihat keadaan yang seperti ini, bagaimana NTB akan
mensejajarkan diri dengan propinsi yang lain dalam bidang kualitas hidup
masyarakatnya? Bagaimana dengan peran pemerintah selama ini untuk
memberdayakan potensi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat NTB?

Dengan terpilihnya new goverment di Indonesia, apakah ada perubahan untuk NTB? Saya berharap sangat, angin segar akan berhembus segera ke arah timur..

No comments: