Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Public Relations
Dalam terminology Public Relations dikenal istilah atau konsep Community Relations. Community Relations merupakan kategori PR yang sangat spesifik. Pada dasarnya Community Relations dilakukan berdasarkan pertimbangan dan pencitraan bahwa :
1. Perusahaan telah dikenal baik oleh masyarakat atau community;
2. Masyarakat juga mengenal perusahaan mempunyai pegawai yang baik;
3. Telah terjalin hubungan yang baik antara perusahaan dengan community;
4. Dalam hal lain community diartikan juga sebagai pemerintah, sehingga untuk tujuan Community Relations ini perusahan ingin dikenal sebagai wajib pajak yang patuh dan taat
Dalam perkembangan selanjutnya konsep Community Relations menjadi bagian integral dari semangat untuk menerapkan tata pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Good Corporate Governance terdiri dari empat prinsip yaitu: keadilan (fairness), pertanggungajawaban (accountability), transparansi (transparency) dan tanggung jawab (responsibility).
Dalam buku Mastering Good Corporate Governance (tantangan dan kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, disebutkan Good Corporate Governance merefleksikan wujud tanggung jawab social perusahaan publik yang bertujuan mencari keuntungan (profit oriented) akan berbeda dengan lembaga yang non-profit oriented. Ada beberapa istilah teknis yang dikenal sebagai varians pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap masyarakat antara lain : etika bisnis, corporate citizenship, corporate sustainability, triple bottom line, stakeholder dialogue, corporate social responsibility, corporate stewardship. Meski ada nuansa perdedaan di san-sini, namun semua istilah itu mengacu pada satu hal, yakni peran bisnis dalam masyarakat.
ENAM PROGRAM PILIHAN
Phillip Kotler dan Nancy Lee dalam bukunya ”Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause” (2005), mengidentifikasi enam pilihan program bagi perusahaan untuk melakukan inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah sosial sekaligus sebagai wujud komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan. Keenam inisiatif sosial yang bisa dieksekusi oleh perusahaan adalah: pertama, Cause Promotions dalam bentuk memberikan kontribusi dana atau penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah sosial tertentu seperti, misalnya, bahaya narkotika. Kedua, Cause-Related Marketing bentuk kontribusi perusahaan dengan menyisihkan sepersekian persen dari pendapatan sebagai donasi bagi masalah sosial tertentu, untuk periode waktu tertentu atau produk tertentu. Ketiga, Corporate Social Marketing di sini perusahaan membantu pengembangan maupun implementasi dari kampanye dengan fokus untuk merubah perilaku tertentu yang mempunyai pengaruh negatif, seperti misalnya kebiasaan berlalu lintas yang beradab. Keempat, Corporate Philantrophy adalah inisitiatif perusahaan dengan memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, lebih sering dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai. Kelima, Community Volunteering dalam aktivitas ini perusahaan memberikan bantuan dan mendorong karyawan, serta mitra bisnisnya untuk secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat. Keenam, Socially Responsible Business Practices, ini adalah sebuah inisiatif di mana perusahaan mengadopsi dan melakukan praktik bisnis tertentu serta investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunitas dan melindungi lingkungan.
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) SEBUAH DILEMA
Keenam program penawaran yang dikemukan oleh Kotler dan Lee, memberikan gambaran kepada kita bahwa sebuah usaha atau perusahaan tidak hanya berorientasi tunggal, hanya untuk memperoleh keuntungan semata. Meskipun masih terdapat perdebatan yang cukup ’seru” tentang kielayakan CSR sebagai salah satu program yang harus dijalankan oleh suatu perusahaan, karena dipadang sudah keluar dari esensi bisnis, yaitu mendapat atau memperoleh keuntungan. Sebagaimana dikutip oleh Yanuar Nugroho, Direktur Eksekutif Uni Sosial Demokrat, sebuah lembaga nir laba yang beroperasi dalam bidang think thank bagi empowerment korporasi, menyebutkan bahwa masih terjadi dilema dalam pelaksanaan CSR.
Menurut kajian Yanuar Nugroho, Sekretaris Jenderal Uni Sosial Demokrat, Bahwa Sejarah mencatat banyak negara-bangsa meng-amini ide-ide demokrasi dan menerapkannya tidak saja ke tata pemerintahan (government), tapi juga ke berbagai tata kelola (governance) masyrakat. Berbagai program sosial diciptakan unmtuk melindungi warganya. Namun, mulai akhir abad ke-20, di bawah tekanan dan lobi-lobi korporasi atas nama globalisasi, banyak pemerintahan mulai menerapkan kebijakan neoliberal. Akibatnya, pemerintah dipinggirkan dan bisnis mulai memegang kendali. Akibatnya, bisnis berupa korporasi menjelma menjadi institusi yang sangat dominan, yang kekuasaan dan pengaruhnya melebihi negara dan komunitas civic (Hertz, 1999). Akibatnya pula, berbagai malaprakteik yang dilakukan oleh korporasi berjalan terus tanpa kendali.
Sebagai respons, konsepsi CSR ’kembali’ digiatkan lagi kepada komunitas bisnis. Padahal, CSR bukanlah hal baru. CSR sudah ada sebagai bagian dari strategi bisnis dalam upaya menambah nilai positif perusahaan di mata public : memasarkan perusahaan (Kotler, 1992). Tapi, lewat gugatan ketat logika, tanggung jawab korporasi ini membuahkan dilema.
Di satu sisi, CSR merupakan klaim atas inisiatif yang menunjuk bahwa bisnis tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham (shareholders), tapi juga untuk kemaslahatan pihak stakeholders dalam praktik bisnis, yaitu para pekerjam komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen dan lingkungan. Oleh Global Compact Initiative (2002) disebut Three Bottom Line, yang meliputi 3-P yaitu, Profit, Planet and People. Hendaknya bisnis jangan hanya berorientasi pada laba (profit) semata, tetapi harusnya menyejahterakan orang (people) dan menjaga lingkungan (planet).
Namun, di sisi lain, pakar bisnis malah melihat CSR sebagai amoral. Peter F. Drucker dalam bukunya The Corporation (2004) menyatakan bahwa ”jika anda menemui seorang eksekutif di perusahaan yang ingin menjalankan tanggung jawab sosial, pecat dia !”. Milton Friedman pun yakin, bahwa CSR itu sesungguhnya amoral. Dalam buku yang sama Friedman mangatakan ”perusahaan itu miliki pemegang saham (shareholders) dan kepentingannya adalah mencari untung. Haruskah perusahaan membelanjakan uang para pemegang sahamnya untuk suatu tujuan yang dianggap bertanggung jawab secara sosial, tapi tidak berhubungan dengan kepentingan pemegang saham ? Jawabannya, tidak !” Bagi Friedman, ” hanya ada satu ’tanggung jawab sosial’ perusahaan, yaitu mncari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Inilah mengapa gagasan CSR membutuhkan pemikiran yang sungguh serius. Komparasi atas gagasan tersebut, penulis berpendapat, akuntabilitas korporasi harus menjadi inti CSR, karena akuntabilitas berkaitan dengan kontrol atas praktik kekuasaan, sementara tanggung jawab hanya bertumpu pada tindakan voluntaristik. Akuntabilitas bisa dituntut jika ia tidak dilaksanakan, sementara tanggung jawab sosial paling jauh hanya bisa dikecam jika absen.
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) HARUS DILAKUKAN
Terlepas dari kontroversi seputar “dilemma penerapan CSR”, dalam kenyataannya, saat ini kosnep dan pelaksanaan CSR justru semakin berkembang, sejurus dengan berkembangnya multi stakeholders. Sebagaimana dikemukakan oleh Teguh Sri Pambudi, Wartawan Majalah Swa, yang mengatakan “konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) merupakan aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan di tengah iklim bisnis dan multi-stakeholders (banyak pemangku kepentingan) yang makin menuntut praktik-praktik etis dan bertanggung jawab. Praktik tanggung jawab sosial itu dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pertumbuhan berkelanjutan, bukan hanya buat perusahaan itu, tetapi juga stakeholder secara keseluruhan, kata Teguh. Mengutip Gurvy Kavei, pakar manajemen dari Universitas Manchester, Inggris, Teguh menyatakan CSR melahirkan sejumlah keuntungan, yaitu profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya lewat efisiensi lingkungan, menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas sekitar, sekaligus mempertinggi reputasi perusahaan.
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri disebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development).
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah) (5) mempunyai nilai keuntungan.
Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program dalam CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-masing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama.
Tapi dalam hal memandang dan menyikapi CSR ke depan, sesungguhnya perlu ada kajian dan sosialisasi yang serius di internal perusahaan dari semua departemen di dalamnya. Paling tidak untuk menyamakan persepsi di antara pelaku dan pengambil kebijakan di dalam satu perusahaan, karena perubahan paradigma pengelolaan perusahaan yang terjadi saat ini, baik ditingkat lokal maupun global, tidak serta merta dipahami oleh pengelola dan pengambil kebijakan di satu perusahaan sehingga pemahaman akan wacana dan implementasi CSR beragam pula, dan otomatis akan mengalami hambatan-hambatan secara internal perusahaan.
Menurut The Word Business Council for Sustainable Development (WBCSD) in fox, et al (2002), definisi Coorporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan, adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan, dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Dan Trinidad and Tobacco Bureau of Standard (TTBS) menyimpulkan bahwa CSR terkait dengan nilai dan standar yang dilakukan berkenaan dengan beroperasinya sebuah korporat, maka CSR diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas (Sankat, Clement K, 2002).
Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Sedangkan stakeholders perusahaan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar, dan pemerintah sebagai regulator.
Dalam praktek kehumasan atau Public Relations menjaga image (citra) perusahaan dimata masyarakat atau bentuk community lain menjadi suatu tugas External Public Relations yang sudah pasti, namun yang lebih pasti lagi adalah bagaimana melaksanakan amanat yang tertuang dalam pesan-pesan External Public Relations ke dalam berbagai benuk program yang mendekatkan perusahaan dengan masyarakat sekitar adalah suatu keniscayaan.
No comments:
Post a Comment